aewd

Latest Post

Response and Timing dalam Sepakbola

Written By Faesal Herlambang on Sabtu, 08 Februari 2014 | 22.41

thumbnailIlustrasi: Dennis Bergkamp, Belanda vs Argentina, Piala Dunia 1998 (AFP)
Sebagian besar olahraga mempertandingkan ketangkasan, kelincahan, dan kecepatan. Sepakbola adalah salah satu olahraga yang sangat bergantung kepada hal-hal tersebut. Semakin cepat, lincah, dan tangkas pemain-pemain di dalam sebuah tim, semakin besar kemungkinan tim tersebut untuk menang. Tapi, tahukah anda bahwa jika variabel-variabel tersebut diturunkan lagi, terdapat sebuah poin kritikal atau rahasia untuk mencapai level tertinggi di dalam sepakbola? Poin kritikal yang "rahasia" itu adalah respons (tanggapan).

Respons (tanggapan) gerakan dalam olahraga termasuk ke dalam sensory motor skills. Kemampuan seperti memanjat, berlari, berjalan, menulis, bahkan berbicara adalah termasuk ke dalam motor skills. Ketika berolahraga, manusia lebih banyak menggunakan kemampuan motoriknya dibanding kemampuancognitive (mental; berpikir). Namun, bukan berarti seorang atlet tidak menggunakan otak-kirinya sama sekali ketika berolahraga. Fitts & Posner dalam bukunya yang berjudul Human Performance (1967), menjelaskan bahwa manusia/atlet mengalami 3 fase dalam mempelajari gerakan fisik, yaitucognitive, associative, dan autonomous. Ketika dalam tahap kognitif, atlet menggunakan otak kirinya untuk mempelajari dan menganalisa sebuah taktik atau gerakan, namun seiring berjalannya waktu, si atlet akan melepaskan cognitive skill-nya menuju kepadaautonomous phase, yaitu tahap di mana sang atlet tidak menyadari gerakan yang telah dilakukannya, dan bahkan semuanya serba otomatis. (Lihat tabel di bawah ini).



Ketika Dennis Bergkamp ditanya oleh seorang wartawan mengenai gol spektakulernya ke gawang Newcastle United pada Maret 2002, "did u mean that?", lalu Bergkamp malah sentak balik bertanya "Which part do you think I didn't mean?" Walau Bergkamp mengaku bahwa dia telah memikirkan untuk melakukan itu, tetapi sebenarnya aksi yang dia lakukan kala itu adalah hasil dari autonomous phase dari kemampuan motorik dia sendiri. Dia tanpa disadari melakukan hal tersebut, terjadi begitu cepat dan otomatis. Setelahnya, Bergkamp akhirnya mengaku bahwa sebelumnya dia sering melatih gerakan tersebut ketika latihan, dan sebenarnya Bergkamp ketika dalam proses berlatih tersebut sedang menjalani fase cognitive dan associate. Kebanyakan pemain-pemain sepakbola hebat menggunakan sensor motoriknya yang telah dalam tahap "otomatis" ketika beraksi di atas lapangan. Semakin matang, semakin si pemain tidak menyadari gerakan-gerakan fantastis yang mereka lakukan.

Sensor motorik (motor skills) umumnya bersifat innate, atau "terlahir dari sananya". Itulah mengapa bakat hebat seorang pemain sepakbola sudah bisa dilihat sejak usia dini. Rata-rata klub-klub besar di Eropa bahkan sudah melakukan scouting untuk anak-anak yang baru berumur 8-10 tahun. Ajax Amsterdam adalah salah satu klub yang sangat mengagungkan innate skills yang satu ini ketika mereka melakukan pencarian bakat. Ajax sangat menilik variabel speed atau kecepatan sebagai hal yang utama ketika memilih pemain. Mereka menganggap bahwa kecepatan (yang termasuk dalam respons motorik) adalah hal yang tidak bisa diubah, alias merupakan bawaan sejak lahir. Melalui motto teknisnya TIPS (Technique Insight Personality Speed), Ajax menjadikan basis kecepatan sebagai bobot yang penting dalam memilih pemain. Hal yang masuk akal, teknik bisa dilatih, namun kecepatan dan respons motorik adalah sesuatu yang sulit diubah.

Respons di dalam sepakbola adalah merupakan atribut yang sangat penting. Pemain-pemain top level rata-rata memiliki respons yang sangat baik. Respons bukanlah seberapa cepat anda berlari, tapi seberapa cepat motorik anda "berpikir" dan mengambil keputusan. Per Mertesacker dan Xavi Hernandez adalah contoh bahwa pemain sepakbola tidak harus melulu cepat berlari, tetapi cepat dalam mengambil keputusan dan kemampuan respon motorik. Wesley Sneijder memiliki "frekuensi gelombang otak" di atas rata-rata. Ia memiliki respons yang sangat cepat ketika berada di atas lapangan. Dengan kelebihannya tersebut, ia bisa dengan cepat mengubah arah bola ketika ditekan lawan yang berbadan besar, walaupun badannya sangatlah kecil. Sergio Busquets memiliki body balance yang lemah, namun kecerdasan motoriknya membuat ia mudah sekali mengambil keputusan-keputusan yang membuat pelatih "memaafkan" kelemahannya. Ia tahu harus mengubah arah badan kemana, ia tahu kapan, dan ia tahu harus kemana bola dialirkan.

Sajian menarik sepakbola indah dengan tempo yang sangat tinggi sangat berkorelasi dengan respons. Johan Cruyff pernah berkata, bahwa seorang pemain yang bagus dilihat dari seberapa baik performanya ketika bermain pada permainan dengan intensitas (tempo) yang sangat tinggi. Ia menambahkan, "kebanyakan orang akan bermain baik ketika berada dalam tempo yang rendah atau sedang, tetapi pemain yang berada di top level akan tetap bermain baik pada game dengan tempo yang sangat tinggi. Sebaliknya, pemain yang off-formketika bermain dalam intensitas tinggi, adalah pemain yang kurang bagus".

Arsene Wenger selalu berkata kepada timnya untuk terus-menerus menaikkan level tempo permainan. Untuk mencapai misi tersebut tentu saja ia membutuhkan pemain-pemain yang memiliki respons di atas rata-rata.

Selanjutnya Johan Cruyff berkata (dikutip dalam Dennis Bergkamp: Stillness and Speed) "when you are not late, you won't have to chase the ball more". Dari frase ini, betapa Cruyff menggambarkan betapa pentingnya respons, antisipasi, dan timing ketika berada di atas lapangan. Semakin responsif si pemain, semakin cepat dia menanggapi situasi di atas lapangan, semakin cepat pula dia mengambil keputusan. Ketika setiap pemain tidak pernah "telat", sebenarnya tim tersebut telah berhemat energi yang sangat banyak, sehingga menguntungkan bagi tim.

Berbicara mengenai 'telat atau tidak telat’, tentu sangat lekat dengan pressing strategy. Apa itu pressing ala Belanda? Yaitu ketika secara kolektif (bersama-sama) anda melakukan pressing dengan timing (waktu) yang tepat. Sebenarnya ketika tim melakukan high-collective-pressing, anda tidak akan lelah. Jika anda lelah, berarti ada 1 atau lebih orang di dalam tim anda yang tidak melakukan pressing dengan timing dan respons yang baik, atau seperti kata Cruyff tadi: "dia terlambat". Keterlambatan itulah yang merugikan tim anda, seperti yang telah diucapkan Cruyff. Sang legenda ketika menjabat sebagai pelatih selalu memuji-muji pemain-pemainnya yang memiliki respons yang luar biasa. Dennis bergkamp adalah salah satu pemain yang diucap Cruyff 'tidak pernah terlambat'.

Respons dan timing adalah dua hal yang berkorelasi. Respons anda bagus, anda tidak akan pernah terlambat, timing anda selalu benar. Itulah rahasia strategi timnas Belanda dan FC Barcelona dalam strategi memenangkan bola dari lawan, high-collective-pressure.

Ada yang menarik dan menghentak diri saya ketika weekend kemarin. Yap, apalagi jika bukan timnas Indonesia U-19. Di dalam objektivitas saya, pemain-pemain yang berada dalam timnas U-19 tersebut memiliki respons motorik yang di atas rata-rata. Sungguh, ini bukanlah kalimat hiperbol. Pemain-pemain tersebut adalah contoh dari betapa berkualitasnya scouting system tim pelatih. Mereka memiliki bakat alami yang sangat berharga, dan harus dimaksimalkan oleh Indonesia. Mereka adalah modal berharga.

Satu hal lagi yang membuat diri ini excited, yaitu bagaimana mereka (timnas U-19) bersikap ketika kehilangan bola. Mereka seperti melakukan high-collective-pressure seperti yang dilakukan Barca era Guardiola, sebut saja hampir menyerupai. Namun, secara taktikal, pemain-pemain tersebut mengerti betul bagaimana cara bermain dengan baik dan benar, terutama ketika lawan memegang bola. Saya jarang melihat off-position yang biasanya terjadi pada pemain-pemain timnas Indonesia, mereka sungguh paham mengenai taktikal di atas lapangan. Kredit khusus kepada Indra Sjarif.

Akhir kata, terlepas dari kegirangan diri ini terhadap timnas Indonesia U-19 dan orang-orang di belakangnya, saya hanya ingin berpleonasme, respons tanpa kualitas teknik, taktik, dan fisik adalah sia-sia, namun, terkadang jika anda hanya memiliki respons yang baik, anda masih tetap bisa bermain sepakbola, walau hanya sebagai pemain belakang atau penjaga gawang.


===



* Penulis adalah mahasiswa yang sedang menempuh studi MSc Sport Management, Coventry University. Akun twitter: @amalganesha

'Belandanisasi' Sepakbola Modern

thumbnailGetty Images
Sudah bukan rahasia lagi jika tim-tim Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina bermain bola dengan mengandalkan skill-skill individu yang luar biasa. "Penggocek ulung" atau "flamboyant footballer" sangat identik dengan pesepakbola-pesepakbola latin.

Lain dengan Amerika latin, pesepakbola-pesepakbola di Eropa lebih menitikberatkan kepada hal teknis dan taktis. Frank De Boer mengaku, seumur hidupnya sebagai pemain, ia tidak pernah berlatih trik-trik sepakbola tertentu. Ia tidak menyukainya, dan menganggap seorang pemain sepakbola hanya perlu menguasai teknik-teknik dasar saja, seperti mengoper, menerima bola, dan menendang, untuk dapat bermain dengan taktis dan efisien.

Taktikal di atas lapangan inilah yang menciptakan sepakbola era modern seperti sekarang. Gaya bermain operan pendek dari kaki ke kaki telah terbukti menjadi gaya main "yang teramat benar" untuk saat ini, jika dihubungkan dampaknya terhadap ball possession dan kemenangan. Tentu saja ada pula pihak-pihak yang menganut anti -total football, salah satunya adalah Michele Dalai, seorang jurnalis yang menulis buku berjudul "Against Tiki Taka". Mungkin Dalai tidak menyadari bahwa sesungguhnya statistik menunjukkan bahwa mayoritas juara di sepakbola menganut salah satu paham prinsipil dari total football, yaitu kuasai bola dengan sebanyak-banyaknya. Menguasai bola yang paling efektif saat ini adalah dengan menjadikan operan pendek menyusur tanah sebagai "gaya" yang dominan.

Uniknya, gaya main sepakbola modern yang sangat identik dengan total football ini diprakarsai oleh seorang pelatih Inggris pertama di Ajax Amsterdam, Vic Buckingham. "Bermain dengan umpan-umpan panjang terlalu berisiko", ujarnya. Sayangnya, prinsip bermain seperti ini tidak diadopsi oleh pelatih-pelatih di Inggris, dan justru semakin berkembang di tanah Belanda.

Di tanah Britania, terjadi transformasi gaya bermain yang cukup stagnan. Orang-orang Inggris terkenal dengan egonya yang cukup tinggi. Sebagai negara yang sangat maju, mereka merasa selalu benar. Dan ini pun terjadi di sepakbola. Harry Redknapp pernah berkomentar di BBC menanggapi performa timnas Inggris: "Kami (Inggris) tidak tahu bagaimana cara bermain sepakbola. Perubahan harus dilakukan secara menyeluruh dari level atas ke bawah. Di sepakbola level internasional, anda tidak bisa hanya melakukan shooting sekencang-kencangnya dan sebanyak-banyaknya. It’s all about possession, retaining the ball, controlling the game.Permasalahannya adalah Inggris tidak memiliki pola bermain yang jelas. Kami tidak memiliki pemain-pemain yang bermain dengan gaya yang sama, gaya yang 'benar', dan itu semua harus dilatih dari sejak usia yang sangat muda."

Kick 'n Rush setidaknya mereka anggap sebagai gaya bermain "yang benar" sampai dengan tahun 2008, yaitu ketika FA menelurkan sebuah kurikulum baru di sepakbola, yang bertajuk "The Future Game". Program ini diluncurkan oleh FA untuk membentuk keseragaman "gaya bermain" di seluruh tanah sepakbola Inggris, dengan sasaran utama para pemain muda dari level grassroot sampai dengan profesional. Seperti yang telah dilakukan Belgia (menciptakan standarisasi "gaya bermain"), Inggris pun berharap dapat melakukan transformasi paham bermain di atas lapangan secara menyeluruh, dan menggapai prestasi yang diinginkan.

Panduan modul The Future Game ala Inggris tersebut menurut penulis sangat betul-betul berbau "Belanda". Semua aspek yang terkandung di dalam modul tersebut adalah pemahaman-pehamaman yang telah dilakukan oleh Belanda sejak dahulu melalui total football-nya dan beberapa negara lain yang dimulai sedari tahun 90-an. Melihat nilai-nilai historis dan betapa megahnya industri sepakbola mereka, bisa dibilang Inggris dinilai "telat" dalam menyadari pentingnya program "standarisasi gaya bermain sepakbola" tersebut.

Di lain negara, seperti di Spanyol, transformasi sepakbola di negara Matador tidak lepas dari peranan figur-figur seperti Johan Cruyff dan Rinus Michels. Cruyff adalah pribadi yang terkenal rebellious, namun sangat cerdas. Dikisahkan, di manapun ia berada, pasti ia akan menciptakan konflik yang bertensi tinggi. Di tahun 1988, presiden Ajax Amsterdam, Ton Harmsen memutuskan untuk memberhentikan Cruyff, yang menjabat sebagai pelatih kepala ketika itu, karena konflik yang berkepanjangan di antara mereka. Setelah pemutusan hubungan kerja tersebut, Cruyff pun langsung dipinang FC Barcelona sebagai pelatih kepala. Sebagai konsekuensi dari tindakan Ton Harmsen tersebut adalah, bila ditarik garis regresi, itulah penyebab Belanda gagal memenangi Piala Dunia 2010, lantaran dikalahkan Spanyol di final dengan skor 1-0.



Cruyff adalah orang yang menanamkan filosofi bermain Barca (menyempurnakan Rinus Michels), membangun fondasi Barcelona melalui La Masia, dan mengajari Pep Guardiola semua ilmu yang dia miliki. Ketika di tahun 2008-2010 Guardiola membuat Barcelona menjadi tim yang sangat tangguh, secara tidak langsung hal itu mempengaruhi skuat Spanyol di Piala Dunia 2010 dan "mempermudah" pekerjaan Vicente Del Bosque. Hampir seluruh pemain Spanyol ketika melawan Belanda di final Piala Dunia 2010 adalah pemain Barcelona. Kekuatan pengaruh "Belandanisasi" di Barcelona sangatlah kuat, yang dibuktikan dengan tradisi formasi 4-3-3 khas ala Belanda yang tidak pernah sedikit pun berubah. Ketika "murid’ mengalahkan guru", itulah yang terjadi secara tidak langsung (regresi) ketika Spanyol mengalahkan Belanda di final Piala Dunia 2010.Joe Jackson, seorang pelatih berlisensi UEFA B yang bernaung di Birmingham County FA, menganalisis mengapa tim seperti Spanyol dan Barcelona jarang melakukan tackling-tackling keras dan bertenaga layaknya pemain-pemain Inggris. Ia berpendapat bahwa pemain-pemain Spanyol paham bagaimana bermain sepakbola yang benar. Mereka tahu harus bergerak ke mana setelah melakukan operan; tahu harus bersikap seperti apa ketika lawan menguasai bola; dan pergerakan posisi mereka selalu benar dan tepat waktu. Keterlambatan dan kesalahan dalam melakukan pergerakanlah yang membuat pemain mau tidak mau harus melakukan tackling. Dan semua itu berbanding lurus dengan apa yang pernah dikatakan oleh Johan Cruyff: "when you are not late, you don’t have to chase the ball more".

Di tanah Italia, terjadi pengaruh "Belandanisasi" yang pun begitu kental. Italia terkenal dengan sepakbola pragmatisnya. Catenaccio dianggap sebagai paham suci yang harus dilestarikan. Hal itu bertahan terus-menerus sampai kemunculan seorang Arrigo Sacchi di AC Milan. Sebelum menjadi pelatih sepakbola, Sacchi hanyalah seorang pedagang sepatu, membantu bisnis keluarganya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sacchi selalu merasa sepakbola adalah passion yang sesungguhnya. Sacchi tidak pernah menjadi pemain sepakbola profesional, dan inilah yang menstimuli quote terkenal yang keluar dari Sacchi ketika beberapa orang mempertanyakan kompetensinya sebagai pelatih: "I never realised that in order to become a jockey you have to have been a horse first... There's no rule. The most important thing is having the desire to keep improving".

Bermulai dari melatih klub lokal di Italia, Sacchi pun berlabuh ke Parma. Silvio Berlusconi merekrut orang ini untuk melatih AC Milan karena Parma asuhan Sacchi dua kali mengalahkan Milan ketika itu. Belakangan diketahui bahwa ternyata Sacchi adalah pengagum berat gaya sepakbola Belanda. Ketika membantu Ayahnya berbisnis sepatu menghadiri berbagai trade fairs di Belanda, Sacchi sering 'mencuri-curi' kesempatan untuk menonton training session dan pertandingan-pertandingan Ajax Amsterdam. Selanjutnya, AC Milan langsung melakukan pembelian trio asal Belanda atas dasar permintaan dari Sacchi, dan Berlusconi pun mendatangkan Frank Riijkard, Van Basten, dan Ruud Gullit sekaligus. Seketika, AC Milan memenangi berbagai kompetisi dan menjadi pembicaraan publik Italia.

Sepakbola Italia pun mulai mengalami transformasi sejak kedatangan Sacchi. Dari sepakbola yang dominan pragmatis, menjadi bercampur dengan gaya sepakbola 'indah' penuh dengan suguhan umpan-umpan pendek dan taktik-taktik menyerang yang 'enak ditonton'. Mario Sconcerti berpendapat bahwa Sacchi telah berhasil menginspirasi pelatih-pelatih Italia dan mengubah gaya dan pola bermain tim-tim di Italia hingga saat ini. Permainan zone marking yang sangat identik dengan Belanda berhasil diadopsi oleh Sacchi ke AC Milan, dan membawa hasil-hasil yang gemilang.

Tidak lama, setelah era Sacchi dan AC Milan, sang tetangga, Inter Milan berusaha untuk melakukan benchmark atas saudaranya tersebut. Inter Milan membeli trio Belanda Dennis Bergkamp, Aaron Winter, dan Wim Jonk guna meraih pencapaian yang sama dengan yang diraih AC Milan. Namun, ternyata hasilnya adalah nihil bagi Inter Milan. Pelatih-pelatih Inter di era tersebut gagal mengoptimalkan "Belandanisasi" ke dalam klub.

Setelah dianalisis lebih dalam, ternyata pelatih-pelatih Inter di masa tersebut bukanlah seorang Belanda atau bukanlah seorang yang paham atas sepakbola Belanda. Alhasil, pembelian trio Belanda ini pun menjadi mubazir. Inter melakukan investasi yang sia-sia dengan mengandalkan pemain-pemain Belanda tapi lupa dengan signifikansi peranan sang pelatih.

Baru-baru ini terjadi fenomena yang sangat unik terkait dengan "Belandanisasi" di Italia. AC Milan terlihat sedang "menapaki arah jalan yang sama" dengan ketika mereka berjaya di era Sacchi dulu. Clarence Seedorf resmi ditunjuk sebagai pelatih kepala yang baru. Uniknya, Seedorf belum memiliki lisensi kepelatihan UEFA Pro yang merupakan syarat untuk menukangi klub-klub level teratas di Eropa. Namun, FIGC (PSSI-nya Italia) memberikan dispensasi kepada Milan untuk memberi jangka waktu agar Seedorf dapat menyelesaikan pendidikan UEFA Pro Licence sambil menukangi timnya.

Di pertandingan tmelawan Hellas Verona, Seedorf membuat sebuah skema Belanda yang sangat brilian. Permainan yang indah, Kaka yang hidup kembali, optimalisasi Nigel De Jong, dan high defensive-line pressure ala Belanda menjadi topik suguhan yang menarik. Sistem double-pivot yang selalu sejajar antara Montolivo dan De Jong membuat Verona bermain di daerah permainannya sendiri. Alhasil, Milan pun menang dengan skor 1-0. Memang belum saatnya untuk memuja-muja Seedorf, namun dari representasi pertandingan tersebut, penulis menilai bahwa Seedorf memiliki tactical intelligence yang cukup baik. Para Milanisti tentu akan antusias menunggu bagaimana kiprah sang legenda dalam melakoni peran barunya tersebut.

Sepakbola Belanda sangat dikagumi dan banyak diadopsi oleh dunia sepakbola internasional. Kegemilangan reputasi La Masia sebagai contoh pembinaan usia muda yang ideal ternyata adalah hasil dari benchmarking terhadap Ajax Amsterdam melalui median Johan Cruyff. Sistem tata kelola pemain-pemain di level muda yang diterapkan oleh Ajax dan Barcelona kemudian menjamur di tanah-tanah Inggris dipelopori oleh Arsenal dan Manchester United, dan saat ini sudah mulai diterapkan secara intensif oleh tim-tim sugar daddy seperti Manchester City dan Chelsea. Bahkan seorang Thierry Henry pun mengaku bahwa dirinya dan semua pemain di timnas Prancis, termasuk Zidane, sangat nervous menunggu hasil semifinal Brasil vs Belanda di semifinal Piala Dunia 1998. Pemain dan ofisial di timnas Prancis ketika itu lebih memilih bertemu Brasil "ketimbang" Belanda. Henry berpendapat bahwa Belanda merupakan tim yang sangat mengerikan, berisikan pemain-pemain yang kuat, cepat, dan paham bagaimana memainkan sepakbola."Siapapun pasti takut bertemu Belanda di atas lapangan sepakbola," ucapnya.

Kejadian serupa terulang ketika Prancis lagi-lagi "bersyukur" untuk tidak bertemu Belanda di final Euro 2000. Henry masih tidak percaya sampai dengan saat ini mengapa Belanda belum pernah memenangi major trophy di level senior, kecuali Piala Eropa 1988, mengingat betapa superiornya performa mereka di atas lapangan. Belanda memang belum pernah menjuarai Piala Dunia, tetapi sistem dan gaya bermain mereka telah diadopsi oleh para juara di sepakbola.

Coventry, 22 Januari 2014




====

* Penulis adalah mahasiswa MSc Sport Management Coventry University. Akun twitter: @amalganesha

Menyoal One-Man Team (Bagian 2-Habis) Bagaimana Menghentikan One-Man Team?

thumbnailAFP
Banyak yang berkata Andre Villas-Boas berhasil melakukan taktik one-man team dengan baik musim lalu. Caranya adalah dengan memindahkan Gareth Bale, yang awalnya berposisi sebagai bek kiri ke tengah, dan menjadikan Bale pusat permainan Spurs.

Jadi, bagaimana cara merancang one-man team secara taktik? "Tentunya hal ini tergantung dari pemain seperti apa yang kamu miliki," ujar Dave Merrington, eks pelatih yang kini jadi komentator radio BBC. Pada kasus Villas-Boas, ia berhasil mempertahankan formasi favorit 4-2-3-1-nya Spurs dan menukar Bale dengan salah satu dari Clint Dempsey, Gylfi Sigurdsson, dan Lewis Holtby secara bergantian. Bale, yang merupakan pemain kidal, membuat posisi-posisi ini menjadi interchangeable.

Lain hal dengan Lionel Messi yang sering beroperasi dengan sistem 4-3-3 di Barcelona. Awalnya ia bermain sebagai penyerang kanan, kemudian melakukan cut inside dan memindahkan bola ke kaki kirinya. Sementara kini ia sudah bisa menjadi "false 9" dengan peran yang lebih mendapat kebebasan.

Tim Argentina pada Piala Dunia 1986 juga melakukannya. Tim ini berbasis solid 3-5-2 dengan kehadiran si jenius Diego Maradona yang dianugerahi kebebasan lebih.

Namun yang perlu diketahui juga, membangun tim di sekitar satu pemain istimewa membutuhkan waktu yang lama, berjam-jam, berhari-hari, dan berminggu-minggu pada sesi latihan. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang dimiliki manajer pada level negara/tim nasional. Itulah yang membuat banyak pemain jenius ini terlihat sedikit kesulitan pada level internasional, ya terkecuali pada tim Carlos Bilardo tentunya.

Bagaimana Cara Menghadapi One-Man Team?

"Jika saya adalah seorang manajer dan harus menghadapi tim dengan pemain yang luar biasa, maka saya harus memiliki marker yang bagus. Saya akan menjaganya bahkan sampai keluar lapangan sekalipun," ujar Merrington.

Salah satu contoh terkenal kasus "10 vs 10" adalah pada Final Piala Liga tahun 1997, yang berakhir dengan pertandingan replay. Pada kedua pertandingan final itu, manajer Leicester City, Martin O'Neill, membuat Pontus Kaamark menempel playmaker Middlesbrough, Juninho, seperti lem tikus.

Kaamark menyebut taktik tersebut "tidak bermoral". Namun, taktik itu terbukti ampuh. Pada akhirnya The Foxes pun berhasil memenangi pertandingan replay dengan skor 1-0. "Juninho adalah perancang, pencetak gol, dan ruh tim. Jadi hal itu memiliki dampak yang besar untuk pertandingan," ujar eks gelandang Middlesbrough, Robbie Mustoe.

Dengan Fabrizio Ravanelli di depan, Boro sebenarnya bukanlah one-man team yang murni. Tapi, dengan matinya Juninho, berarti striker Italia itu tidak memiliki amunisi dan tidak ada yang melayaninya.

Jerman Barat juga melakukan hal yang sama ketika Berti Vogts menyuruh timnya untuk menempel ketat Johan Cruyff pada Final Piala Dunia 1974.
Jadi, Man-Mark Sajakah?

Lalu muncul pertanyaan selanjutnya mucul. Mengapa tidak semua tim menjaga saja pemain bintang pada taktik one-man team? Andaikan saja sesederhana itu.

Mari kembali pada Phil Brown, saat ia menjadi asisten manajer di Bolton. Ia pernah berkata bahwa David Ginola "membuat kami terlihat bodoh dengan mempermainkan pengawalnya. Ini karena sang man-marker, Chris Fairclough, bergerak-gerak tidak jelas menuju sisi-sisi lapangan yang tidak seharusnya."


"Messi dan Bale (di Spurs) adalah pemain dengan tingkat kecerdasan yang tinggi untuk melakukan hal yang serupa," tambah Mustoe .

"Jika saya me-man mark seseorang dan ia berdiri di dekat bek kanan saya, itu akan menciptakan situasi dua lawan satu. Itu bagusnya," ujar Mustoe lagi. Namun, seorang man-marker yang bergerak mengikuti lawannya akan menciptakan lubang yang besar di tengah lapangan --atau di area pun-- yang bisa dieksploitasi oleh pemain-pemain lawannya.

Kalau pun bisa menjaga si pemain ini tetap jinak sepanjang pertandingan, tanpa harus menciptakan kelemahan untuk dieksploitasi lawan, beberapa hal lain justru malah bisa terjadi.

Matt Le Tissier menjelaskan pada saat ia dijaga ketat oleh pertahanan Wimbledon. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, namun sampailah pada 15 menit akhir pertandingan, kami mendapatkan sebuah tendangan bebas di zona yang menguntungkan. Mereka 'kan tidak bisa mendekat sepanjang 10 meter dari saya, jadi saya tendang saja bola ke sudut atas gawang mereka, lalu kami pun menang 1-0," ujar Le God.

Kembalinya bolongnya strategi man-marking juga terjadi ketika Phil Jones ditugaskan oleh Sir Alex Ferguson untuk menjadi bayangan Cristiano Ronaldo. Ini muncul pada pertandingan Liga Champion, ketika Manchester United menghadapi Real Madrid.

Jones sebenarnya berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Namun ia harus menelan pil pahit, ketika Ronaldo dengan lompatannya yang terkenal itu mampu menanduk bola dan mencetak gol penyeimbang Real Madrid.

Johan Cruyff juga bahkan berhasil memenangkan penalti pada menit-menit pertama final Piala Dunia 1974, sebelum akhirnya Berti Vogts berhasil menjinakkannya.Itulah fakta yang terjadi pada pemain bintang one-man team: jika pesepakbola itu sebegitu istimewanya untuk jadi fokus permainan, mereka juga pasti akan sebegitu istimewanya untuk menyelamatkan diri dari sang man-marker.

Kabar Buruknya Adalah...

Baiklah, itu semua adalah teori di atas kertas dari permainan Messi, Ronaldo, Bale, sampai Luis Suarez. Semuanya mengarah pada kesimpulan bahwa tim-tim dengan taktik one-man team adalah mereka yang sedang menikmati "renaissance" sepakbola.

Tapi, apakah itu kesimpulan yang bijaksana? Faktanya mungkin berbicara sebaliknya, bahwa one-man team mungkin sebentar lagi akan mengalami kepunahan.

"Tim-tim top sekarang tidak lagi cuma memiliki satu atau dua pemain yang dianugerahi dengan teknik istimewa. Mereka sekarang punya setidaknya lima atau enam pemain," seperti yang Phil Brown jelaskan. Lalu, Le Tissier menambahkan, "Kamu tidak bisa menjaga mereka semua tanpa merusak bentuk permainan timmu sendiri."

Sampai tahun 1990-an, tim-tim Liga Primer Inggris memang punya Matt Le Tissier, Juninho, atau Paolo Di Canio: ikan yang besar di kolam yang kecil. Namun sekarang ini, bintang-bintang tersebut pasti ingin bermain bagi tim-tim besar lainnya, daripada tinggal di tim yang tidak top.

Seperti yang kita tahu, tim kaya semakin kaya dan sukses. Bahkan tim kecil mulai dibeli investor-investor tajir. Talenta-talenta top ini pasti akan tertarik oleh gravitasi dari tim-tim besar tersebut. Ditambah lagi, saat ini banyak faktor yang mempengaruhi keputusan seorang pemain untuk pindah. Selain waktu bermain dan peran di tim, ada uang, pajak, keluarga, makanan, cuaca, dan lain-lain.

Scott Sinclair mungkin memberikan kita contoh yang paling nyata. Sinclair adalah pemain kunci di Swansea City, namun ia rela pindah ke Manchester City hanya untuk menjadi penghangat bangku cadangan. Meskipun ia dapat kesempatan bermain, ia pasti tidak akan semenonjol pemain-pemain City lainnya. Padahal ia bisa jadi bintang utama di Swansea City.

Kembali ke Kesimpulan Kita...

Jadi, bagaimana cara untuk menghentikan pemain bintang lawan tanpa harus melepaskan perhatian kepada rekan-rekan timnya lainnya (yang sayangnya juga pemain bintang)?

Sebuah permainan kolektif yang modern mungkin memiliki jawabannya. Permainan kolektif dengan defensive line yang tinggi, sambil meminimalisir jarak antara pemain bertahan dan menyerang, sehingga tidak terdapat banyak ruang kosong di tengah untuk dimanfaatkan oleh lawan.
Cara ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh Jose Mourinho ketika ia berhasil membawa Real Madrid mengalahkan Barcelona. Meski demikian, Mourinho sendiri mengaku bahwa memang akan sulit untuk membuat Messi benar-benar jinak.

"Kamu dapat mengatur lini pertahanan untuk bermain rapi, dan membuat si pemain bintang tidak menggunakan kaki alaminya. Tapi, seperti yang biasa kita lihat pada pemain-pemain lawan yang istimewa, mereka sangat cepat. Bahkan, ketika kamu berhasil memancingnya menggunakan kakinya yang tidak alami, mereka akan menggiring bola melewatimu dan akhirnya berhasil menempatkan bola ke kaki alami mereka lagi. Atau bahkan yang lebih buruk lagi, mereka adalah pemain yang bisa menggunakan kedua kakinya sama baiknya," ujar Le Tissier.

Tapi, itulah keindahan dari permainan pesepakbola-pesepakbola top dunia. Itulah mengapa mereka bisa merancang dan mencetak banyak gol dibandingkan pemain-pemain lainnya. Kita semua pasti berharap memilki pemain seperti itu pada level apapun kita bermain, melatih, maupun tim yang kita dukung.

=====

*akun Twitter penulis: @dexglenniza dari @panditfootball

Menyoal One-Man Team (Bagian 1) Salahkah Membangun Tim dengan Bertumpu Pada Satu Pemain?

thumbnailGetty Images/Michael Regan
Katanya, Liverpool tidak bisa apa-apa tanpa Luis Suarez. Lalu kenapa? Membangun tim dengan fokus permainan pada satu bintang terbukti jadi salah satu jalur menuju kesuksesan.

Mari layangkan ingatan kita kembali ke musim lalu, pada kala Gareth Bale sedang jaya-jayanya bersama Tottenham Hotspur. Banyak yang berkata bahwa tanpa Bale, Spurs hanyalah sebuah tim papan tengah. Bale terlalu bagus untuk mereka. Musim lalu, bisa dibilang bahwa Spurs berlabel "one-man team". Sebuah atribut yang bisa berarti positif maupun negatif.

Permainan Bale begitu mencolok musim lalu. Namun, apakah ini merupakan sesuatu yang buruk?

Well, sejujurnya Spurs tanpa Bale seperti macan tak bergigi. Hal yang sama juga berlaku untuk Luis Suarez di Liverpool, Barcelona tanpa Lionel Messi, Real Madrid tanpa Cristiano Ronaldo, dan tim-tim berlabel one-man team lainnya sepanjang sejarah permainan ini berlangsung.

Pertanyaannya adalah, bolehkah tim-tim ini terlalu tergantung pada satu pemain saja untuk mencetak gol,assist, dan segala sesuatu yang lain yang berbau kebrilianan dalam menyerang? Jika memiliki senjata yang begitu tajam, kenapa tidak boleh memaksimalkan potensi sang senjata hingga ke titik tertingginya?

Menelisik Definisi One-Man Team

Sebelum berbicara banyak, mari bertanya. Apakah definisi dari one-man team? Percaya atau tidak, "one-man" tersebut bisa berarti banyak. Secara umum, pada banyak kasus, artinya adalah tim yang bergantung pada pemain yang paling bertalenta. Arti kata "paling" ini adalah "sangat jauh di atas rekan-rekannya".

Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri adalah si pemain bintang pada one-man team biasanya beroperasi pada area attacking third lapangan. Maknanya, ia adalah seorang pemain depan, atau pemain tengah yang gemar menyerang.

Contoh-contohnya seperti: Argentina dengan Maradona-nya pada Piala Dunia Meksiko 1986, Southampton dengan Matt Le Tissier pada tahun 1990-an, dan juga Blackburn Rovers dengan Alan Shearer kala menjuarai Liga Inggris 1994-1995.

Tim-tim di atas adalah tim yang dihuni oleh pesepakbola dengan talenta penyerangan yang luar biasa. Sementara pada kasus Barcelona (Messi) dan Real Madrid (Ronaldo), kedua tim ini memiliki mega-bintang yang juga bahu-membahu bersama pemain-pemain lainnya yang memang kelas dunia.Dua Tipe One-Man Team

Ada beberapa perbedaan dari one-man team, yang bisa dilihat dari cara permainan sebuah tim. Secara umum saya akan membagi ke dalam dua tipe. Namun, masing-masing memiliki variasinya sendiri-sendiri.

One-Man Team tipe pertama adalah yang paling sederhana: tim yang membangun taktik dan strategi untuk memaksimalkan potensi satu pemain utama. Dari sinilah penggunaan istilah "one-man team" muncul.

Namun, meski terdengar sebagai strategi yang tidak bisa diandalkan, sebenarnya one-man team sudah jadi praktik yang lazim. "Sudah menjadi hal yang wajar untuk membangun sebuah tim di sekitar satu pemain yang paling menonjol", ujar Robbie Mustoe, mantan gelandang Middlesbrough yang sekarang menjadi seorang analis sepakbola.

Mari kembali ke ilustrasi Gareth Bale di Spurs musim lalu. Menurut Mustoe, Andre Villas-Boas mengerti bahwa dengan kemampuan Bale, pasti pemain ini dibutuhkan untuk berada pada area tengah lapangan. Akibatnya, AVB akan memastikan pemain-pemain lainnya untuk menutup ruang di sisi yang Bale tinggalkan.

"Kredit untuk Bale yang bisa memerankannya, dan juga untuk AVB yang menyadari pentingnya strategi tersebut untuk tim," tambah Mustoe.

Contoh lainnya adalah Messi pada musim 2010-2011, ketika ia mulai banyak mencetak gol. Pada musim sebelumnya Messi hanya mencetak 17 gol untuk Barcelona. Tapi, dengan skema permainan Barca, sampai sekarang angka gol Messi sudah lebih dari 200 gol (223 gol tepatnya, dan masih terus bertambah sampai saya menulis artikel ini, dan bertambah banyak lagi sampai Anda membaca artikel ini).

One-man team tipe kedua adalah tim yang biasanya tidak memiliki banyak cing-cong pada taktik. Pada tim seperti ini, ada kecenderungan pemain tampil menjadi "jimat". Salah satu contohnya adalah pemain seperti Michael Ballack, yang (hampir) bisa dibilang seorang diri saja berhasil membawa Jerman ke final Piala Dunia 2002.

Waktu itu, Jerman ke final dengan hanya mengandalkan dua pemain bintang. Bisa dikatakan, kiper Oliver Kahn adalah satu-satunya rekan setimnas Ballack yang bisa disejajarkan sebagai pemain kelas dunia.

Ballack adalah "jimat" Rudi Voeller. Pelatih Jerman ini tidak merancang permainan Ballack, tapi Ballack sudah dengan sendirinya bisa merancang permainan rekan-rekannya. Ballack tampil sebagai seorang gelandang perusak, perancang, dan pencetak gol dari lapangan tengah.Lalu ada Diego Maradona pada kategori yang sama namun pada tingkat yang lebih "dewa". Ia membayar lunas kepercayaan Carlos Billardo untuk membangun skuad pemenang Piala Dunia 1986, Argentina, dengan kepemimpinan, kesaktian, dan juga kenakalannya.

Namun, bahkan salah satu pemain terbesar sepanjang masa pun menyadari bahwa ia bukanlah apa-apa tanpa 10 pemain lainnya.

Maradona tidak sendirian dalam berpikir bahwa satu orang tidak bisa memenangi pertandingan seorang diri. "Kamu tidak bisa membiarkan tim kamu berpikir bahwa mereka adalah one-man team", kata Dave Merrington, sang manajer Southampton pada era kejayaan Matt Le Tissier. "Kamu harus memastikan mereka menghormati peran-peran mereka dan juga rekan-rekan setimnya," kata Merrington.

One-man team mungkin akan berhasil. Tapi tidak dalam jangka panjang, jika si pemain bintang percaya dia melakukan itu semua sendiri. Dua contoh terbaik dari sang pemain egois adalah Romario dan Robin Friday. Saat bermain untuk PSV Eindhoven pada 1988, Romario merupakan pemain brilian yang bermain untuk dirinya sendiri dan berlatih untuk dirinya sendiri. Tidak heran kemudian ia malah dibenci rekan-rekan setimnya.

Cerita serupa juga terjadi pada Robin Friday pada tahun 1970-an. Digadang-gadang sebagai bintang Inggris, ia malah menghabiskan karirnya yang singkat bersama Reading di divisi tiga, karena dinilai terlalu egois.

Buah Simalakama Taktik One-Man Team

Salah satu peran manajer adalah sebagai penyeimbang. Adalah manajer yang harus memutuskan bahwa satu pemain akan menjadi titik fokus tim. Ia harus mempertimbangkan apakah "mengasingkan" salah satu pemain dari rekan-rekan lainnya adalah risiko yang layak diambil.

Banyak yang mengatakan seorang manajer harus menjadi seorang ahli taktik dan juga ahli psikologi. Sayangnya, hal ini akan sangat sulit berlaku bagi manajer yang mencoba membangun timnya di sekitar satu orang pemain saja.

Phil Brown mengaku kesulitan untuk membangun one-man team. Ini terjadi pada saat ia merancang formasi menyerang 4-3-1-2 Hull City pada 2009. Membuat fokus timnya pada gelandang magis Brasil, Geovanni, Brown sebenarnya sukses untuk membuat timnya berhasil bertahan mengarungi ketatnya Premier League Inggris.

Namun, Phil Brown malah berkata bahwa sebuah tim tidak dapat menang dengan mengandalkan individual, meski ia memiliki seorang pemain yang bisa melakukannya. Ini karena ia dihadapkan pada situasi yang serba salah.
Sebagai contoh adalah yang terjadi pada Matt Le Tissier ketika Alan Ball mencoba membangun tim Southampton di sekitar pemain jenius tersebut. "Ball menyuruh saya untuk selalu berada di tengah lapangan. Kemudian ia berkata kepada pemain lainnya bahwa sayalah pemain yang paling bagus, dan sayalah peluang terbaik mereka untuk keluar dari masalah. Jadi semuanya selalu mengoper bola kepada saya," ujar Le Tissier.

Dengan strategi itu, pemain yang terkenal dengan julukan Le God di pantai Selatan Britania itu mencetak 25 gol untuk menghindarkan The Saints dari degradasi pada musim 1994-1995. Ia juga mencetak 20 gol lagi pada musim berikutnya untuk membawa Southampton ke posisi 10 klasemen Liga Inggris.

"Selama saya bermain baik dan kami tidak kalah, tidak ada masalah. Tapi pada beberapa kesempatan ketika saya tidak bermain baik, saya merasakan ada sedikit kebencian dari rekan-rekan setim."

Ketika pemain-pemain istimewa ini berhasil bermain konsisten dan memenangkan pertandingan, pemain-pemain lainnya mungkin akan sedikit longgar kepada si pemain bintang pada saat pertandingan. Namun ketika mereka bermain buruk, semuanya kembali lagi kepada kultur tim. Pemain-pemain senior serta manajer memiliki peran jadi contoh untuk rekan-rekannya.

Sebagai manajer, ia harus bisa mengenal si pemain jenius ini. Manajer juga harus memiliki beberapa pemain yang bertipe krusial, sehingga terdapat keseimbangan yang baik: si pemain jenius ini akan berperilaku baik di dalam maupun di luar lapangan, juga anggota tim lain akan lebih mudah menerima peran si jenius sebagi fokus tim.

Ego bukanlah hal yang mudah untuk ditangani. "Setiap pemain butuh merasa untuk dibutuhkan, dicintai, dan dihargai. Itu berlaku tidak hanya untuk pemain-pemain yang istimewa saja," ujar Tom Bates, salah seorang psikolog olahraga.

Bates menggunakan contoh ketika Pep Guardiola mengizinkan Lionel Messi untuk bermain pada Olimpiade 2008 untuk Argentina. Pep, yang berhasil memenangi medali emas Olimpiade pada tahun 1992, bisa melihat hal ini melalui perspektif yang positif.

Hal ini terjadi jauh sebelum Messi menjadi mesin gol Barcelona. Kala itu Pep bisa berkata kepada Messi, "Pergi dan menangkanlah medali emas tersebut, tapi ketika kamu kembali ke sini, cetaklah banyak gol untuk kita," dan Messi melakukan semuanya. Itu adalah cara Guardiola untuk mengatakan, "Saya menghargaimu".

====

*akun Twitter penulis: @dexglenniza

Bagaimana Inverted Winger Bekerja

thumbnailIlustrasi: AFP/Guenther Schiffmann
Bayern Munich menjadi juara Liga Champions dengan senjata andalan yang sedang jadi mode di Eropa: inverted winger. Betapa mematikannya inverted winger mereka melalui Arjen Robben dan Frank Ribbery.

Inverted winger adalah pemain sayap yang menempati sisi lapangan yang berlawanan dengan kekuatan kaki terbaiknya. Seorang pemain sayap berkaki kidal ditempatkan di sisi kanan, sementara pemain berkaki kanan di taruh di sisi kiri -- itulah inverted winger.

Dengan pertukaran posisi macam itu, seorang inverted winger bisa mengkreasi peluang bagi dirinya sendirinya dengan cara membawa bola ke dalam [cutting inside], lalu melakukan percobaan mencetak gol dengan kaki terkuatnya. Misal: seorang kidal di sisi kanan, bisa membawa bola ke tengah atau ke depan kotak penalti, dan bisa langsung melakukan shot dengan kaki kirinya. Dia tak harus memindahkan bola ke kaki terkuatnya lebih dulu karena bola sudah ada di kaki terkuatnya.

Ketika melakukan gerakan memotong ke dalam, seorang pemain sayap akan memaksa fullback untuk merebut bola dengan kekuatan kaki lemahnya, dengan mayoritas seorang fullbackmenempati sisi di mana pada kekuatan kaki terbaiknya. Jika ingin mengambil bola dengan kaki terbaik,fullback harus paling tidak memutar badan untuk memindahkan kaki terkuatnya mendekati lawan. Dengan memutar badan, maka bisa ditebak ia akan kalah beberapa langkah dari pemain sayap yang sudah pasti berlari kencang mendekati kotak penalti.



Inilah yang memungkinkan para pemain sayap di era sekarang bisa memiliki produktivitas mencetak gol yang sangat tinggi dibanding para pemain sayap zaman dulu. Robben dan Ribery, misalnya, termasuk empat pemain dengan rataan shot per game tertinggi di Bayern. Sepanjang musim 2012/2013 Robben mencatat angka 4,18 shot per game [tertinggi], sementara Ribery 2,70 shot per game [nomor 4 tertinggi].

Pemain sayap dengan dribling serta kekuatan dan akurasi tembakan yang mumpuni akan jadi monster menakutkan jika berperan sebagai inverted winger. Misalnya: Cristiano Ronaldo. Kendati dia juga kuat di kaki kiri dan sundulan, kekuatannya tetap berada di kaki kanan. Di Madrid dia ditempatkan di sisi kiri. Hasilnya: Dia mencetak 62 gol musim lalu di semua ajang. Rataan shot per game-nya mencapai 5,9 [termasuk di timnas] dan jadi yang tertinggi di La Liga.

Ini berbeda dengan seorang traditional winger yang ditempatkan di sisi yang sesuai dengan kaki terkuatnya: pemain kidal di sisi kiri, pemain dominan kaki kanan di sisi kanan. Sayap dengan bergaya tradisional ini populer pada pola klasik tiga baris sejajar 4-4-2. Kedua sayap bekerja menyisir lapangan dan lantas mengirim umpan silang ke dalam kotak penalti. Fungsi mereka terutama untuk memberi peluang bagi pemain lain [khususnya striker], dan bukan mengkreasi peluang untuk dirinya sendiri. Fullback hanya tinggal menjaganya agar terus melebar dan tidak memberi kesempatan melakukan teror melalui umpan silang.

Produktivitas pemain inverted winger hanya salah satu kelebihan saja. Dengan menggunakan inverted winger,sebuah tim punya lebih banyak variasi dalam upaya membongkar pertahanan lawan. Saat seorang inverted winger bergerak ke tengah pertahanan lawan dan berhasil memancing fullback yang menjaganya untuk ikut bergerak ke dalam, maka ada lubang di sisi pertahanan yang bisa dimanfaatkan pemain lain. [Lihat ilustrasi pergerakan inverted winger yang memancing fullback yang menjaganya di bawah ini:]

Seorang inverted winger yang bisa memainkan perannya secara efektif, juga masih bisa tetap membuka peluang bagi rekannya walau dia sedang berada di jantung pertahanan sekalipun. Apa yang terjadi pada gol penentu kemenangan Bayern yang dicetak oleh Robben di final Liga Champions lalu adalah contohnya.

Saat defender Dortmund terpaku pada Thomas Mueller, Ribery masuk ke depan kotak penalti dan dia menjadi "pemantul" dari umpan yang disodorkan oleh Bastian Schweinsteiger dari tengah. Bola yang "dipantulkan" Ribery itu langsung disambar oleh --siapa lagi kalau bukan-- Robben yang menusuk dari sisi kanan. Gol. 



Gol itu jadi ilustrasi beberapa hal terkait inverted winger. Pertama, seoranginverted winger bisa mencetak gol tidak hanya dengan dribbling yang diakhiri dengan shot, tapi bisa melakukannya dengan pergerakan tanpa bola ke jantung pertahanan lebih dulu seperti yang ditunjukkan Robben. Kedua, seorang inverted winger juga bisa berperan di jantung pertahanan sebagai "pemantul" dalam sebuah proses serangan yang mengandalkan umpan satu dua yang cepat seperti yang ditunjukkan Ribery.

Untuk dua hal itu, situasinya sama: inverted winger meninggalkan posisinya di tepi lapangan. Di titik ini, setidaknya ada dua kemiripan antara seorang inverted winger dengan seorang false nine: [1] sama-sama banyak bergerak di luar posisi naturalnya untuk [2] memancing pemain lawan bergerak meninggalkan posisinya. Jika inverted winger bisa menarik fullback ke luar dari posisinya, seorang false nine untuk menarikcenter back yang menjaganya.

Seringkali kedua peran di atas itu juga saling menentukan satu sama lain. Ketika striker yang berperan sebagai false nine berhasil menarik perhatian center back untuk mengikuti pergerakannya [misal terpancing naik mengikuti striker yang turun ke bawah], maka ada celah yang bisa dieksploitasi oleh pemain sayap yang membawa bola ke jantung pertahanan.

Jika sudah ada ruang kosong di jantung pertahanan, seorang inverted winger yang masuk dengan membawa bola bisa langsung melakukan shot atau terus melakukan solo-run ke dalam kotak penalti. Jika inverted winger tidak bisa melakukan dua hal itu karena ditekan oleh fullback yang mengikuti pergerakannya, maka dia bisa melakukan umpan satu dua dengan striker false-nine.

Itulah sebabnya kebanyakan tim yang menggunakan sepasang inverted winger sekaligus umumnya hanya menggunakan atau memasang seorang striker di depan, baik dalam formasi 4-2-3-1, 4-5-1 atau bahkan 4-6-0 [dengan striker yang berperan sebagai false-nine seperti Francesco Totti di era Luciano Spaletti].

Seorang striker yang statis berada di kotak penalti menunggu umpan silang dari sayap tentu tidak cocok dengan gaya bermain yang menekankan serangan dari sayap mengandalkan sepasang inverted winger. Dibutuhkan striker yang lebih mampu bergerak, untuk membuka ruang bagi pemain sayap yang ingin masuk ke dalam. Bahkan jika dibutuhkan, seorang striker dapat bertukar posisi dengan bermain melebar.

Komposisinya akan lebih mematikan jika tim tersebut juga punya gelandang serang yang punya akselerasi bagus sehingga bisa bergantian dengan stiker untuk mengecoh konsentrasi bek lawan.Bayangkan apa yang terjadi jika sebuah tim punya 4 pemain di lini serang dengan tipikal seperti ini: sepasang inverted winger, 1 striker yang fasih bermain sebagai false-nine dan gelandang serang yang punya akselerasi bagus untuk bertukar posisi dengan striker. Itulah yang dimiliki Bayern Munich musim lalu dan Juup Heynkess bisa mengoptimalkannya dengan sempurna.

Semua uraian tentang inverted winger di atas lebih banyak menyoroti perubahan gaya bermain dan agresivitas seorangwinger. Akan tetapi, bukan berarti seoranginverted winger tidak berbahaya jika tetap menyisir sisi lapangan dan lantas mengirimkan umpan silang layaknya seorang winger tradisional. Mereka bisa jadi malah lebih berbahaya dibanding seorang sayap tradisional saat mengirim umpan silang ke dalam kotak penalti. Justru crossing yang dilakukan oleh seorang inverted bisa jadi lebih berbahaya dibandingkan dengan pemain sayap ortodoks.

Bola silang dari inverted winger tidak menghambat momentum kecepatan bola terlalu besar, karena penerima umpan hanya tinggal membelokan atau bahkan mempercepat laju bola dengan sundulan maupun sepakan kaki. Ini diakibatkan bola yang dikirim seoranginverted winger cenderung melengkung ke dalam ke arah gawang. Sementara seorang winger tradisional, bola silang yang dikirimnya biasanya melengkung ke luar menjauhi gawang.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana cara menghentikan inverted winger? Setidaknya ada dua cara yang paling kentara: mencegahnya bergerak memotong ke dalam, atau tidak memberi kesempatan untuk melakukan aksi selanjutnya setelah melakukan cutting-inside.

Untuk opsi pertama tentu dengan memasang fullback tangguh yang mampu memenangi duel one by one. Atau cara ekstrim lain dengan melawan memakaiinverted fullback, misalnya dengan memasang seorang bek kidal di sisi kanan dan sebaliknya. Misal: Glenn Johnson yang dominan kaki kanan di era Kenny Dalglish malah ditempatkan sebagai fullback kiri. Namun hal ini akan mengurangi support dalam menyerang dan cenderung membuat tim menjadi bermain bertahan. Lagi pula, seorang inverted fullback umumnya bukan dipasang untuk mengantisipasi inverted-winger, tapi malah untuk berperan seperti inverted-winger saat menyerang.

Cara lain yang lebih memungkinkan adalah memasang double pivot yang beroperasi di depan back-fourdengan membagi beban tanggung jawab antara kedua pivot. Satu pemain menjaga pemain sayap lawan yang melakukan cutting-inside, dan pivot lain menjaga atau menutup ruang gerak pemain lawan yang lain.

Ini yang dilakukan, misalnya, Manchester United musim lalu saat menghadapi Real Madrid di perdelapan final Liga Champions. Fergie memasang Phil Jones sebagai tandem Michael Carrick sebagai double-pivot yang melindung pertahanan. Jones dipasang dengan tugas pokok adalah menjaga area di depan back-four agar tidak dieksploitasi oleh Cristiano Ronaldo.


===

* Akun twitter penulis @mildandaru dari @panditfootball
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blog Mbah Gendeng - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger